Di dunia bisnis furniture, Rani Permata Sari (38), pemilik Nuansa Kayu Bekas, bukanlah pemain biasa. Sejak tahun 2000, ia dan suaminya, Bima Satria Dewa (48) sudah mulai menggeluti bisnis itu di daerah Kemang, Jakarta Selatan.
Kala itu, mereka hanya menjual barang jadi. Baru setahun kemudian mereka pindah ke Jawa Tengah. Mereka menyaksikan kesempatan usaha untuk menciptakan furniture lebih besar di sana karena mudah mendapatkan pasokan materi baku. Produk furniture mereka pun sebagian besar diekspor ke negara-negara Eropa.
Awal Mula Merintis Usaha Kayu Bekas
Namun, memasuki tahun 2007, bisnisnya mengalami hambatan. Stok kayu mahoni selaku bahan dasar produk mulai menipis. Maka Rani dan suaminya pun memutar otak biar tetap memproduksi furniture. Di tahun 2008, mereka memberanikan diri untuk mengolah kayu bekas. Bongkaran rumah dan bak truk menjadi pilihan utama.
“Desain pertama kami sebut windows makeover. Artinya, meja dan kursi yang kami bikinan berasal dari kayu bekas jendela,” kata Rani yang bertanggung jawab pada marketing dan kreatif, sedangkan suaminya bertanggung jawab pada pengadaan materi baku.
Walau sudah berpengalaman dan sudah dikenal, tetapi memasarkan produk yang berasal dari materi dasar kayu bekas tidak mudah. Terbukti, ketika mengikuti pameran di Jakarta pada tahun yang sama, tidak ada orang yang melirik produk kayu bekas tersebut. Hingga pameran rampung , tak ada satu pun pembeli.
Rani tak patah semangat, ia tetap yakin produknya menawan. Di bulan Oktober 2009, atas dukungan dari Kementerian Perdagangan RI, ia mengikuti sebuah pameran di Jerman. “Saat itu, sedang hangatnya informasi illegal logging dan global warming, untuk mensiasatinya saya mengusung tema Why Waste Wood. Ternyata, melalui klarifikasi yang baik, produk kami cukup disenangi, walau tidak banyak,” ungkap Rani. Hingga kini 80 persen kayu yang digunakan yaitu kayu bekas.
Kepercayaan diri Rani meningkat. Ia pun kembali mengejar-ngejar pasar mancanegara karena melihat potensi produknya yang lebih disenangi oleh abnormal. Amerika Serikat yakni salah satu pasar terbesar mereka. Produk mereka juga dieksport ke Italia, Belanda, Jerman dan Australia, serta Cina. Saat ini, Rani mengekspor produknya sekitar 12 kontainer dengan nilai jual sebesar USD 144.000 (sekitar Rp1,9 miliar) per bulan.
Demi memudahkannya melaksanakan penjualan ke luar negeri, Rani telah mengantongi izin ekspor dan juga sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dari Kementerian Kehutanan, yang mengakui bahwa kayu yang ia jadikan furniture bukan hasil dari illegal logging.
Untuk penawaran khusus dan pemasaran, Rani mengandalkan pameran. Rata-rata, mereka mengikuti 4 kali pameran dalam 1 tahun. Baik di dalam maupun mancanegara. Untuk mampu pameran di luar negeri, Rani memanfaatkan program dari Kementerian Perdagangan atau Kementerian Perindustrian RI. Namun, kadang kala mereka juga mengikuti pameran secara mandiri. “Dalam waktu bersahabat, kami akan ikut pameran di Las Vegas, Amerika Serikat,” kata wanita yang kini telah mempunyai pabrik bikinan sendiri dengan 230 karyawan.
Diakui Rani, dibandingkan dengan kayu baru, penggunaan kayu bekas memang lebih menguntungkan. Harga pembelian lebih rendah, sedangkan harga penjualan dapat lebih tinggi. “Produk olahan dari barang bekas memang biasa, namun dengan sentuhan kreativitas menjadikannya mempunyai nilai tambah,” katanya.
Untuk mengakali persediaan bahan baku, Rani mendesain furniture yang tidak melulu kayu, tetapi dikombinasikan dengan rotan, drum oli bekas untuk coffee table, serta bangku. Ia juga mengolah jeregen bekas sebagai boks penyimpanan. “ Produk kami memang lebih condong pada aksen furniture, yakni meja, dingklik, lemari, hiasan dinding, sampai mangkok kayu,” ujar Rani yang menerima bahan baku kayu dengan menjalin koordinasi dengan beberapa perusahaan karoseri (pengerjaan kolam truk).
Selain soal mendapatkan materi baku, mengolah kayu yang bentuknya tidak merata dan juga tidak mempesona secara estetika menjadi tantangan tersendiri bagi Rani. Ia pun mesti memutar otak demi mendapat ilham-ide segar. “Bekas-bekas tancapan paku pada kayu saya gunakan sebagai aksen. Teknik pewarnaan yang bagus juga penting. Kami berusaha menampilkan kayu senatural mungkin,” katanya.
Meski diakui Rani minat masyarakat Indonesia kepada furniture dari kayu bekas tak sebesar pasar luar negeri, namun ia tetap optimis. “Trend recycle tidak terlalu viraldi sini, namun dengan semakin banyaknya cafe yang mengusung tema vintage (kuno), produk ini mampu mempesona pasar,” katanya, optimis.
Seperti fashion, berdasarkan Rani, furniture juga memiliki tren baik dari segi bentuk maupun warna. Maka untuk menyesuaikan diri dengan tren masa kini, setiap memasuki tamat tahun, Rani bergerilya lewat internet mencari acuan. Ia mesti senantiasa berusaha mencari rancangan-rancangan baru. “Tetap percaya diri pada mutu produk. Jangan pernah berputus asa dikala mengikuti pameran, walau tidak ada pembeli,” tutupnya.